Hari ini, tepat tanggal 8
desember 2013, tuntas sudah untuk membaca sebuah novel yang berjudul 99 Cahaya
di Langit Eropa. Pertama kali aku mengetahui tentang novel ini saat aku tidak
sengaja menonton acara entertaiment news di tv swasta dini hari. Sang pembawa
acara menceritakan tentang sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul
yang sama ini. Aku terkejut, karena novel ini ditulis oleh anak salah satu
petinggi negeri ini, Amin Rais. Satu hal yang membuatku cukup penasaran, novel
ini menceritakan tentang sejarah Islam di bumi Eropa.
Aku cukup tertarik untuk belajar
sejarah semenjak salah seorang teman maya memarahiku karena aku selalu bertanya
tentang apa yang tidak aku ketahui padanya. Aku benar-benar teringat
perkataannya yang seketika itu juga memacuku untuk segera membeli buku Sirah
Nabawiyah, buku sejarah kenabian Muhammad. Saat itu aku tidak terima dia
memarahiku, “kamu itu jangan suka tanya
mulu, baca. Cari tahu sendiri. Kamu harus banyak belajar sejarah. Lihat dirimu
yang malas belajar. Lihat cara berpikirmu saat ini. Kamu harus belajar dari
orang-orang hebat jaman dulu yang tidak mudah mengeluh, yang memperjuangkan
Islam di usia muda mereka. Kamu tahu akhlak Hindun saat belum memeluk Islam?
Kamu ingin akhlakmu seperti dia?”
Walau melalui SMS tulisan itu aku
baca, tapi aku merasa dimaki-maki olehnya. Aku merasa bodoh sekali. Dia akan
membandingkanku dengan akhlak Hindun saat belum memeluk Islam? Dikira aku tidak
pernah membaca Sirah Nabawiyah? Aku pernah membacanya walau tidak semua dan
itupun aku pinjam dari seorang teman. Aku juga membaca kisah Hindun, tapi aku
tidak berani membalas SMS itu, karena aku tahu, melawannya pun aku kurang
pengetahuan. Aku memilih diam, dan keesokan harinya aku putuskan membeli buku
Sirah Nabawiyah. Itulah awal mula mengapa aku selalu ingin belajar tentang
sejarah.
Kembali ke novel. Aku akui, novel
ini memiliki rangkaian kata yang tak seindah dan tak semengalir beberapa novel
favoritku dalam menggiring alur ceritanya. Terlebih novel ini ditulis dengan rata
kiri, ini sangat tidak biasa bagiku. Tetapi, novel ini memiliki value yang
sangat besar, membawa pesan yang sangat hebat, bahkan aku dibuat menangis saat
membacanya.
Tentang Islam. Sang penulis
menceritakan segala yang dia alami di benua Eropa dengan kejujuran dan
kemurnian iman. Aku pun ikut merasakan, sebagai seorang muslim aku ingin
mencari tahu benarkah Islam pernah berjaya di tempat yang kini penduduk
nonmuslimlah sebagai mayoritas. Islam pun membumi di Eropa dengan atau tanpa
banyak orang mengetahui dan menyadarinya.
Sangatlah tidak mudah hidup
sebagai seorang muslim di lingkungan yang tak berbau Islam bahkan menolaknya.
Rasa syukur ini selalu ada karena terlahir di Indonesia yang mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam. Di sisi lain, aku pun merasa miris dengan
keadaan ini. Mungkin karena Islam telah menjadi mayoritas sehingga sedikit
sekali ada rasa tanggung jawab untuk mempertahankan Islam dan memperkenalkan
nilai-nilai Islam pada halayak, toh
hampir semua yang di sekitar adalah muslim. Menjadi acuh untuk mengamalkan
nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Bahkan yang paling mendasar, seperti
halnya yang disampaikan pada novel ini, menjadi agen muslim yang baik dengan
memberikan senyum terbaikmu dan berbuat jujur dalam hal apapun. Lihat, berapa banyak umat muslim di Indonesia
yang tersenyum dengan saudara sesama muslim lainnya saat bertemu di jalan.
Berapa banyak para muslimah yang mempertahankan jilbabnya sebagai keteguhan
iman dalam menjalankan perintahNYA atau identitasnya sebagai seorang muslimah.
Semua justru sebaliknya, para muslimah berlomba membuka aurat mereka di negri
mayoritas muslim ini. Miris sekali.
Maka sungguh luar biasa mereka
yang membawa nama Islam di negri orang
lain. Yang tidak hanya mengemban nama baik negaranya, tetapi juga
membumikan nilai-nilai Islam dari segi apapun, bahkan dari hal terkecil.
Aku benar-benar tidak sabar untuk
segera menonton filmnya. Semoga pesan yang disampaikan dalam film ini juga
menyampaikan pesan dalam novel. Tidak hanya sekedar toleransi, tetapi
membumikan Islam dimanapun kaki kita berpijak.