Sabtu, 21 Desember 2013

Versi Interpretasi

Tergeraklah saya saat ini untuk menulis tentang lagu Donna Donna, OST. Gie. Mengapa?

Bermula dari menonton film Gie beberapa waktu lalu (padahal ini film ini sudah ada di tahun 2006 *if I'm not wrong. atau 2005? lupa.) Ira, yang diperankan oleh Sita RSD, menjadi salah seorang kawan dari Soe Hok Gie dalam organisasi yang dibentuk di kampus dalam rangka memerangi komunisme ini, menyanyikan lagu Donna Donna di malam pentas seni. Dengan memainkan gitar, Ira tampak menghayati dan mampu menyampaikan pesan dari lirik. 

Kebebasan. Itu yang saya cerna pertama kali saat mencermati setiap kata dalam lagu ini.Kita coba cermati dulu lirik lagunya (khususnya bagi mereka yang baru pertama kali tahu).
On a wagon bound for market
There’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow
Winging swiftly through the sky.

How the winds are laughing
They laugh with all their might
Laugh and laugh the whole day through
And half the summer’s night.

Dona, dona, dona, dona,
Dona, dona, dona, do,
Dona, dona, dona, dona,
Dona, dona, dona, do.

“Stop complaining,” said the farmer,
“Who told you a calf to be?
Why don’t you have wings to fly with
Like the swallow so proud and free?”

How the winds are laughing …
Calves are easily bound and slaughtered
Never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
Like the swallow has learned to fly.
Entah mengapa, saya merasa lagu ini sangat cocok untuk kondisi saya saat ini yang sedang membutuhkan motivasi dalam mewujudkan mimpi. Jadilah saya menyukai lagu ini.

Tidak berhenti dengan hanya sekedar suka, saya mencari tahu tentang cerita dibalik lirik lagu ini. Apakah makna Donna Donna yang tidak aku mengerti padanan katanya dalam bahasa Indonesia, dan memang sudah menjadi kebiasaan saya untuk kepo pada hal-hal yang terkesan asing.

Dan, dipertemukanlah saya dengan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa lagu ini adalah lagu yang diciptakan pada tahun 40an oleh seorang Yahudi. Deg. *Yahudi ya?* Sebagai seorang muslim, yang telah dibekali sedikit banyak pengetahuan tentang Yahudi, timbullah rasa bersalah. Kenapa harus merasa bersalah? tentu saja, karena seperti yang diketahui, Yahudi sangatlah canggih dalam segala hal. Simbol-simbol, film, juga termasuk lirik. Pertama yang terbersit dalam pikiran saya saat mengetahui ini adalah ciptaan seorang Yahudi, maka ini bukan karya sembarangan. Pasti memiliki makna tertentu.

Benar saja, situs pertama yang saya kunjungi (http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/02/12/lagu-donna-donna-arti-sesungguhnya-dalam-komunitas-yahudi-533403.html) menjelaskan bahwa kata "Calf (anak sapi) mewakili tubuh manusia yang memiliki sifat hewani. Suka bersenang-senang, dst. Burung Swallow yang menggambarkan jiwa spiritual, yang menghubungkan langsung dengan Sang Pencipta, dst. Untuk lebih jelas, silahkan kunjungi situs tersebut.

Di situs lainnya disebutkan bahwa lagu ini memiliki makna metafora yang begitu luar biasa. Menceritakan peristiwa perang dunia II. Wagon (kereta) yang terikat menuju pasar merepresentasikan kendaraan militer dan calf (anak sapi) dengan mata yang bersedih merepresentasikan orang-orang Yahudi. Farmer sebagai tentara Nazi, sedangkan winds mewakili tentara-tentara Nazi yang lainnya, dst. baca selengkapnya di http://blog.bhaktiutama.com/2011/11/from-donna-donna-to-gaza-gaza/.

Baiklah. Saya semakin nggak ngerti. Kesimpulan saya, itulah bahasa. Yang mampu diinterpretasikan sesuai dengan sudut pandang pembaca. Dan, saya sebagai pembaca juga memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknai lagu ini.

Lagi-lagi kebebasanlah yang menjadi poin utama dalam menikmati lagu ini. Saya merasa diberi dukungan untuk bebas dalam mewujudkan impian saya. Tak perlu lagi menggerutu dan mengeluh dengan adanya jalan yang sangat terjal ini. Terbanglah bebas, tak perlu lagi terpuruk. Dengan sayapmu, terbebaslah dan berbanggalah dalam mewujudkan mimpi.

Ini hanyalah interpretasi saya dalam memaknai lagu. Ini hanyalah sudut pandang saya dalam menafsirkan bahasa. Terlepas dari kisah dibelakangnya. Sebagai seorang Muslim, saya bersama dalam barisan melawan mereka yang memerangi Islam. Saya sama sekali tidak memaknai lagu ini sebagai peperangan antar agama, tidak memaknainya sebagai rezim tentara Nazi. Saya hanya memaknainya sebagai motivasi kebebasan.

Minggu, 08 Desember 2013

99 Cahaya di Langit Eropa



Hari ini, tepat tanggal 8 desember 2013, tuntas sudah untuk membaca sebuah novel yang berjudul 99 Cahaya di Langit Eropa. Pertama kali aku mengetahui tentang novel ini saat aku tidak sengaja menonton acara entertaiment news di tv swasta dini hari. Sang pembawa acara menceritakan tentang sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama ini. Aku terkejut, karena novel ini ditulis oleh anak salah satu petinggi negeri ini, Amin Rais. Satu hal yang membuatku cukup penasaran, novel ini menceritakan tentang sejarah Islam di bumi Eropa. 

Aku cukup tertarik untuk belajar sejarah semenjak salah seorang teman maya memarahiku karena aku selalu bertanya tentang apa yang tidak aku ketahui padanya. Aku benar-benar teringat perkataannya yang seketika itu juga memacuku untuk segera membeli buku Sirah Nabawiyah, buku sejarah kenabian Muhammad. Saat itu aku tidak terima dia memarahiku, “kamu itu jangan suka tanya mulu, baca. Cari tahu sendiri. Kamu harus banyak belajar sejarah. Lihat dirimu yang malas belajar. Lihat cara berpikirmu saat ini. Kamu harus belajar dari orang-orang hebat jaman dulu yang tidak mudah mengeluh, yang memperjuangkan Islam di usia muda mereka. Kamu tahu akhlak Hindun saat belum memeluk Islam? Kamu ingin akhlakmu seperti dia?” 

Walau melalui SMS tulisan itu aku baca, tapi aku merasa dimaki-maki olehnya. Aku merasa bodoh sekali. Dia akan membandingkanku dengan akhlak Hindun saat belum memeluk Islam? Dikira aku tidak pernah membaca Sirah Nabawiyah? Aku pernah membacanya walau tidak semua dan itupun aku pinjam dari seorang teman. Aku juga membaca kisah Hindun, tapi aku tidak berani membalas SMS itu, karena aku tahu, melawannya pun aku kurang pengetahuan. Aku memilih diam, dan keesokan harinya aku putuskan membeli buku Sirah Nabawiyah. Itulah awal mula mengapa aku selalu ingin belajar tentang sejarah. 

Kembali ke novel. Aku akui, novel ini memiliki rangkaian kata yang tak seindah dan tak semengalir beberapa novel favoritku dalam menggiring alur ceritanya. Terlebih novel ini ditulis dengan rata kiri, ini sangat tidak biasa bagiku. Tetapi, novel ini memiliki value yang sangat besar, membawa pesan yang sangat hebat, bahkan aku dibuat menangis saat membacanya. 

Tentang Islam. Sang penulis menceritakan segala yang dia alami di benua Eropa dengan kejujuran dan kemurnian iman. Aku pun ikut merasakan, sebagai seorang muslim aku ingin mencari tahu benarkah Islam pernah berjaya di tempat yang kini penduduk nonmuslimlah sebagai mayoritas. Islam pun membumi di Eropa dengan atau tanpa banyak orang mengetahui dan menyadarinya. 

Sangatlah tidak mudah hidup sebagai seorang muslim di lingkungan yang tak berbau Islam bahkan menolaknya. Rasa syukur ini selalu ada karena terlahir di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Di sisi lain, aku pun merasa miris dengan keadaan ini. Mungkin karena Islam telah menjadi mayoritas sehingga sedikit sekali ada rasa tanggung jawab untuk mempertahankan Islam dan memperkenalkan nilai-nilai Islam pada halayak, toh hampir semua yang di sekitar adalah muslim. Menjadi acuh untuk mengamalkan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Bahkan yang paling mendasar, seperti halnya yang disampaikan pada novel ini, menjadi agen muslim yang baik dengan memberikan senyum terbaikmu dan berbuat jujur dalam hal apapun.  Lihat, berapa banyak umat muslim di Indonesia yang tersenyum dengan saudara sesama muslim lainnya saat bertemu di jalan. Berapa banyak para muslimah yang mempertahankan jilbabnya sebagai keteguhan iman dalam menjalankan perintahNYA atau identitasnya sebagai seorang muslimah. Semua justru sebaliknya, para muslimah berlomba membuka aurat mereka di negri mayoritas muslim ini. Miris sekali.

Maka sungguh luar biasa mereka yang membawa nama Islam di negri orang  lain. Yang tidak hanya mengemban nama baik negaranya, tetapi juga membumikan nilai-nilai Islam dari segi apapun, bahkan dari hal terkecil. 

Aku benar-benar tidak sabar untuk segera menonton filmnya. Semoga pesan yang disampaikan dalam film ini juga menyampaikan pesan dalam novel. Tidak hanya sekedar toleransi, tetapi membumikan Islam dimanapun kaki kita berpijak. 

Kamis, 21 November 2013

Memikul Neraka Sendiri



Jika ditanya siapakah yang paling aku sayangi setelah orang tua, aku akan menyebut kakek. Kakeklah yang paling aku sayangi di dunia ini setelah ibu dan bapak.  Di usianya yang semakin senja, renta tubuhnya, berkurang daya pendengarannya, melemah penglihatannya, tetaplah kakek satu-satunya yang paling kekar dimataku. Genggaman tangannya yang begitu kuat saat aku jabat, pertanda ia pekerja keras di usia dulu. 

Dari cerita ibu, kakek adalah seorang bapak yang luar biasa bagi anak-anaknya. Ibu selalu menunggu di statiun saat waktu pulang kerja tiba. Kakek akan melambaikan tangan kepada ibu dari gerbong kereta. Dengan membawa beraneka macam buah-buahan sebagai oleh-oleh, kakek menyambut ibu dengan gendongan manja. 

Saat aku duduk di bangku sekolah dasar, kakek dan nenek bekerja sebagai petani padi berdua. Seluruh anak-anaknya juga ikut membantu menyemai bibit dan sebagainya, termasuk aku. Sebagai cucu yang tidak tinggal bersamanya, aku sangat antusias sekali jika diajak pergi ke sawah. Tidak seperti cucu-cucu yang lainnya karena rumah mereka berdekatan dengan rumah kakek. Kakek mengizinkanku menyemai bibit padi sendiri dan akan dengan bangga menunjukkan padaku padi-padi yang mulai tumbuh sebagai hasil jerih payahku.

Tumbuh semakin dewasa, aku pun semakin mencintainya. Setiap aku mengunjungi rumahnya, kakek selalu bertanya kabar kuliahku. Lancarkah? Atau bagaimana?. Kakek juga selalu memberiku uang saku setiap aku pamit pulang. Aku selalu tidak boleh menolak semua pemberiannya. Kakek bilang, ini uang untuk tambahan bensin, atau ini uang untuk jajan di kampus. Hingga sampai hari kelulusanku tiba. Aku menyampaikan bahwa aku telah diwisuda. Kakek berucap syukur alhamdulillah dengan tulusnya. 

Kini, kakek seorang diri karena telah berpisah selamanya dari nenek. Nenek meninggal sekitar 20 hari yang lalu. Kesedihan ini adalah kesedihan yang paling mendalam yang pernah aku rasakan. Mungkin juga bagi kakek. Masih benar-benar tersimpan dalam ingatan saat jenazah nenek yang baru datang dengan diantar oleh ambulan. Kakek menangis sejadi-jadinya melihat wajah nenek yang tak bernyawa. Kesedihanku pun semakin bertambah, tidak hanya karena ditinggal nenek untuk selamanya tetapi juga karena kesendirian kakek.

Kakek pun tak sekekar dulu, sekarang ia selalu mengeluh karena sakit yang dirasa dibagian lutut. Makan tak lagi ditemani nenek, semua yang ia lakukan selalu sendiri. Walaupun semua anak dan cucunya ada bersamanya, ia selalu merasa sendiri. Mungkin ini yang namanya kehilangan. Kehilangan sebagian dari dirinya. 

Hingga terjadi sebuah percakapan antara kakek dan adik sepupuku yang bernama Putri. Ketika itu Putri meminta kakek untuk senantiasa beristigfar setiap merasakan rasa sakit, mulailah untuk sholat, memohon ampunan kepada Allah. Mengejutkan saat kakek menimpali semua permintaan Putri. 

“Biarlah kakek seperti ini saat ini. Sejak kecil kakek tidak pernah diajari sholat, mengaji, atau urusan agama yang lainnya. Sudah terlanjur. Kalian, anak dan cucu kakek, sholatlah yang rajin, doakan kakek semoga Allah mengampuni. Semoga seluruh keluarga, anak dan cucu masuk surga, biar kakek pikul neraka nanti sendiri.”

Sedih. Menangis saat diberitahu tentang apa yang kakek ucap. 

Sungguh, tidak ada amalan yang akan diterima oleh Allah setelah kita meninggal selain amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh dan sholehah. Semoga Allah mau menerima segala pintaku untuk kakek.

Sabtu, 16 November 2013

Berbeda Harokah, Mengapa Tidak



Untuk pertama kalinya, hari ini saya menghadiri sebuah seminar (saya lebih suka menyebutnya kajian formal) di Fakultas Kedokteran di kampus saya dengan Ust. Felix Y. Siauw sebagai pengisi materi. Saat ini, siapa yang tidak mengenal ustadz Felix. Beliau yang lebih terkenal dengan sebutan ust. Twitter (karena tweet beliau yang sangat luar biasa dengan gaya bahasa anak muda) telah banyak menarik perhatian para remaja muslim untuk hadir di setiap acaranya. 

Benar saja, saat saya menghadiri acara tersebut, banyak dari para peserta yang datang adalah para remaja muda yang terlihat gaul (dalam hal ini tidak seperti remaja muda/ anak kuliahan yang telah berjilbab lebar ataupun mencicipi nuansa SKI kampus). Dan ini yang sedikit banyak membuat saya salut, karena mampu mencakup segala kalangan dalam penyampaian da’wah. 

Jika diminta untuk mengutarakan secara jujur sebagai alasan saya untuk menghadiri acara tersebut, secara mendasar pastilah saya akan menyebutkan untuk mencari ilmu Allah, mencari ridho Allah, berkumpul bersama dengan orang-orang yang Allah ridhoi dalam menghadiri majelis ilmu serta keberadaan dalam sebuah majelis yang dinaungi oleh malaikat. Itu adalah hal yang paling utama dari tujuan setiap kehadiran. Tetapi ada satu hal yang membuat saya satu tingkat lebih bersemangat untuk menghadirinya. 

Seperti yang telah diketahui oleh sebagian orang, ust Felix adalah seorang penda’wah dari sebuah harokah atau pergerakan da’wah yang cukup besar di Indonesia. Dan saya bukanlah salah seorang jama’ah yang tergabung dengan harokah tersebut. 

Seringkali saya menemukan perbedaan harokah menjadi kesenjangan tersendiri bagi kawan-kawan yang bernaung dalam da’wah kampus. Secara jujur, itu membuat saya bersedih dan bertanya-tanya. Mengapa selalu menganggap perbedaan ini menjadi sesuatu yang sangat sensitif, menganggap setiap harokah merekalah yang paling benar. Itu yang membuat saya sangat sedih dan pernah berpikiran bahwa jika dengan adanya harokah mampu membuat perpecahan, buat apa harokah itu ada. 

Sekali lagi saya berpikir dan mulai menyadari bahwa berda’wah secara berjamaah itu penting, memiliki suatu komunitas pergerakan da’wah itu juga penting. Dengan begitu kita mampu memfasilitasi kecenderungan diri kita terhadap apa yang kita yakini kebenarannya.
Dalam hal ini (kajian ust. Felix), saya mulai menerka-nerka. Apakah konten yang akan ust. Felix sampaikan, cenderung subjektifkah?, memiliki tendensi kuat terhadap satu harokahnya sajakah? Atau bagaimana? Inilah yang menjadi alasan menarik bagi saya untuk hadir.

Dan, apa yang saya dapatkan dari kajian yang berlangsung tadi pagi? Saya bersyukur kepada Allah dan saya secara pribadi salut kepada ust. Felix dengan segala materi yang disampaikan, serta pernyataan beliau sebagai berikut.

                Pergerakan da’wah yang ada saat ini sangatlah beragam. Silahkan anda bergabung dengan mereka. Silahkan pilih yang mana saja, silahkan ikut mengaji bersama mereka, karena semua itu baik kecuali liberal. Jangan ikut pergerakan liberal. Itu saja.
                Pengibaratan mengikuti sebuah harokah adalah seperti anda ingin mencoba nasi goreng, silahkan anda mencoba nasi goreng yang mana saja, anda akan menemukan nasi goreng yang akan anda jadikan sebagai selera anda.  *kurang lebih seperti itu, semoga tidak menambahi dan mengurangi apa yang beliau sampaikan*

Dari hal tersebut diatas saya menyimpulkan bahwa tidak ada paksaan dalam mengikuti suatu harokah. Semua harokah yang ada pastilah mengajak dalam kebaikan. Hanya saja, setiap dari mereka memiliki kecenderungan masing-masing tanpa harus menganggap harokahnya-lah yang terbaik. Mengedepankan ukhuwah adalah yang terpenting, sehingga tidak ada lagi istilah perebutan jama’ah.  Sungguh, ukhuwah kita sangatlah penting dan wajib untuk disatukan. 

Selamat berjama’ah dengan harokah masing-masing dan kita satukan tali persaudaraan kita sesama muslim.

Selasa, 12 November 2013

Rindu Hujan

Rinduku pada hujan sebesar rinduku padamu
Dan pertanda adalah satu-satunya pembeda
Mendung ini isyarat kehadirannya
Dan tak ada satu pun isyarat kehadiranmu

Maka jelas kini
Kepada siapa aku harus setia



12-11-2013

Rabu, 23 Oktober 2013

Semakin Tahu Semakin Bodoh

Pernah dengar istilah semakin tahu semakin bodoh? ini saya lagi ngerasain sekarang. Ngerasain sebegini bodohnya saya akan hal-hal yang ada di sekitar yang tak saya ketahui. Maka, respon awal yang biasa muncul adalah ohh jadi begini ya, ohh begitu ya, kok aku baru tahu ya, dll (tidakkah terdengar bodoh?).

Ahhh, sungguh serasa bodoh diri ini. hiks'. Berawal dari otak atik twitter dan saya menemukan sebuah akun bernama Awy' A. Qolawun. Setelah mencari info lewat google, saya menemukan bahwa ternyata beliau adalah seorang penulis, aktivis FLP (Forum Lingkar Pena). 

Menurut saya pribadi, kultwit (kuliah twitter) beliau nih cukup mengasikkan dan berbobot sehingga membuat kepala saya hampir mendidih untuk memikirkan dan mencerna bahwa ternyata saya bodoh.

Yah, saat menuliskan kalimat ini, saya lagi ngantuk berat, tapi tetap mempertahankan diri untuk terjaga demi download sebuah kitab yang beliau rekomendasikan lewat twitter. 

udah ya, saya sibuk download gratis.

 

 

Senin, 21 Oktober 2013

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

Beberapa waktu terakhir ini aku suka sekali membaca puisi dan kumpulan sajak, terkadang juga menuliskannya. Entah mengapa aku merasa lebih bebas dalam menulis saat menyusun sajak. mungkin karena sebuah tabiat yang memang tidak suka terikat oleh aturan manusia. Aku bebas menuliskan segala rasa, segala kata. 

Hujan Bulan Juni adalah buku yang paling sering aku baca akhir-akhir ini. Sekumpulan Sajak karya Sapardi Djoko Damono ini serasa membiusku dalam, tenggelam dalam kata. Dan aku sampai pada halaman 55. Tertulis sajak indah penuh makna. 

BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI

waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan  bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan

(1971)

Sapardi Djoko Damono

HUJAN BULAN JUNI
Sepilihan Sajak
halaman 55

Minggu, 20 Oktober 2013

Procrastinator

Pernah dengar Procrastinator? ini adalah sebuah isitilah psikologi untuk orang-orang yang suka menunda pekerjaan. Orang males aja punya sebutan yang keren gitu ya dalam bahasa psikologi. Terlepas dari julukan keren itu. Tunggu dulu. Menunda-nunda pekerjaan ya. oh tidak, aku jadi curiga. agaknya aku cocok mendapat gelar Procrastinator. tidakkkkkk..... hiks' hiks'

Aku akui, untuk beberapa hal, aku suka sekali menunda-nunda untuk pengerjaannya. Entah mengapa, mungkin ini yang disebut dengan naluri kemalasan seorang manusia. dan itu buruk. dan jangan ditiru. ini hanya sejenis pengoreksian diri agar tahu seberapa buruknya diri dan seusaha apa aku harus merubahnya menjadi lebih baik.

Dipikir-pikir, iya bener, bener juga. menunda pekerjaan. Aku ambil contoh, untuk menyusun modul yang akan aku pakai mengajar di LBB (Lembaga Bimbingan Belajar) milik sendiri ini, aku pun sering menundanya. Mungkin karena aku sering terbiasa bekerja dengan deadline semasa kuliah, dan karena ini lbb milik sendiri, aku pun jadi males-malesan. Ini buruk. ya, buruk. bagaimana ini. mau tetap buruk? *toyor jidat sendiri*

Dan, betaapa indahnya agama yang sedang aku peluk ini, islam. Islam telah mengajarkan umatnya untuk tidak menunda-nunda pekerjaan, memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Coba kita cermati ini.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
QS. Al-Hasyr 59 : 18

Nah, itu. Ayat diatas mensyaratkan bahwa kita harus memperhatikan segala apa yang kita kerjakan sebaik mungkin. Juga hadist di bawah ini.

Ada dua nikmat, di mana banyak manusia tertipu di dalamnya, yakni kesehatan dan kesempatan.” (HR Bukhori).

Nah lagi, hadist di atas menunjukkan bahwa kita (manusia) harus memanfaatkan kesempatan (waktu) dengan baik. Secara sadar ataupun tidak, terkadang kita suka berleha-leha dalam memanfaatkan waktu yang ada, padahal ini adalah nikmat-Nya, tentu yang tak boleh kita siakan.

Ah, iya. Betapa cerobohnya aku ini dalam mensyukuri segala nikmat. Nikmat kesempatan. Nikmat waktu luang. Maka tak maulah aku menyandang istilah keren Procrastinator itu. Bareng-bareng yuk kita manfaatkan waktu kita sebaik mungkin. Yang paling penting, kita saling mengingatkan agar tak lalai menyukuri segala nikmat Tuhan.

Mama Bilang Aku Blo'on

Dua hari yang lalu saat saya sedang belajar mengaji bersama anak-anak TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) dekat rumah, saya mendapati seorang anak kecil, salah seorang santri berusia 4 tahun sedang menangis kencang sekali. Saat itu, Septia  dikelilingi teman-temannya yang sedang mencoba membujuk dia untuk berhenti menangis, tidak kunjung reda justru malah semakin keras. Saya yang sedang menyimak bacaan seorang santri, tidak bisa menghampirinya segera karena masih banyak santri lain yang belum mengaji. 

Karena tangisnya yang tak juga berhenti, saya mengajak Septia untuk duduk di samping saya. Dia pun menurut. Kegiatan menyimak pun usai, saya dekati dia dan mencoba menanyakan apa yang terjadi. 

" Septia, kenapa menangis sayang..?? " Tanyaku perlahan. 
Sambil menunjukkan mainannya yang rusak, dia mencoba menceritakan sambil sesenggukan, 
" ini, mainanku di rusakin Ali, jadi rusak..",  tangisnya pun menjadi saat ia berucap, " ini mainan punya adikku, nanti aku dimarahin mama... kasihan adikku, mainannya rusak."
 " kenapa tadi mainannya dibawa Septia, kenapa tidak disimpan di rumah?" tanyaku,
sedikit reda ia menjawab, "mainan adikku aku bawa, aku jaga biar gak rusak.."
" besok minta mama beli lagi ya.." 
" mama nggak punya uang, uangnya di pakai buat arisan..", terkejut mendengar pernyataan itu, saya pun kembali bertanya dengan penasaran, 
" uang saku Septia berapa kalo untuk sekolah.."
" seribu lima ratus.."
" harga mainannya berapa?"
" seribu lima ratus.."
" ya sudah, nanti kalo sudah sampai rumah, Septia minta maaf ke adik dan mama, habis itu bilang kalo besok bakal ganti mainannya dengan mainan baru. jadi, besok uang sakunya jangan di pake buat jajan ya, buat beli mainan adik saja. setuju... "

Septia pun mengangguk. 


Hari ini, saya bertemu kembali dengan Septia. Saat ia menghampiri saya untuk mengaji, saya lontarkan pertanyaan tentang dua hari lalu. 


"Septia, kemarin gimana? dimarahin mama?"
" iya...", ia menjawab lugu,
" dimarahinnya gimana?"
Sambil menunduk dia berkata, "mama bilang aku blo'on"

Terkejut mendengarnya, pedih sekali..
" sudah? itu aja dimarahinnya?"
" iya, mama cuma bilang aku blo'on.."
" Septia diam aja? ato nangis?"
"diem aja.."

Saya elus kepalanya, kemudian memintanya untuk mengaji. :(

Kamis, 17 Oktober 2013

Puitis

Menjadi puitis untuk tidak menjadi pujangga
Hanya perantara rasa lewat pena
Sebagai bukti cinta yang tak mampu terucap
lewat segala kata.

FYM, 14 Oktober 2013

Rabu, 16 Oktober 2013

Bank Ide

Saat saya menuliskan ini, saya sedang kehabisan ide untuk menulis apa. Ini adalah salah satu hal yang sering saya alami, dan ini buruk. Kedisiplinan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam menulis. Kedisiplinan dalam menyimpan (baca: menuliskan) ide yang seringkali tiba-tiba datang. Bayangkan saja, ide sering kali datang di saat yang tidak tepat, tidak terduga, seperti bayangmu.. *eaaa apa lagi ini. Kembali ke ide, saya seringkali mendapatkan ide setelah terjadinya peristiwa di sekitar, di kelas saat kuliah, ataupun di kamar mandi. 

Kebiasaan yang paling tepat dan seringkali dilakukan oleh penulis adalah menuliskan setiap ide yang muncul atau tiba-tiba ada.  Tulis dimanapun yang memudahkan kita menulisnya, misalkan di laptop, handphone, atau bahkan secarik kertas. Mengapa ini dianggap perlu, karena dengan membuka kembali catatan-catatan ide kita, kita mampu mengingat kembali dengan mudah ide tersebut saat akan menulis.

Kebiasaan saya saat duduk di bangku SMP,  saat-saat memulai menulis iseng adalah saya selalu membawa secarik kertas yang selalu tersimpan di saku seragam sekolah. Untuk apa? Kertas itu akan saya gunakan untuk menulis segala ide yang tiba-tiba muncul saat dalam perjalanan pulang atau berangkat ke sekolah. Perlu diketahui, saya naik angkot untuk ke sekolah, dan ya, saya menulis segala ide itu di dalam angkot. Sebegitu rajinnya saya dalam mengumpulkan ide-ide yang muncul, tidak seperti saat ini. Jadi sedih.. hiks.

Mengumpulkan ide-ide tersebut adalah salah satu cara yang efektif dalam menulis, karena seringkali kehabisan ide adalah hal yang paling menjenggelkan sehingga menulis pun menjadi terhambat dan tidak produktif.Dan, Bank Ide adalah sebutan yang tepat untuk kumpulan-kumpulan ide yang kita tulis. 

Baiklah, semoga anda (khususnya saya) mampu lebih produktif lagi dalam menulis. Semangat... :')


Menjawab Kerinduan

Eng... ing...eng... saya hadir lagi di blog saya sendiri. baiklah, saya tahu, barusan ini bukan opening yang baik. Lupakan. yang pasti, kembali hadirnya tulisan ini adalah sebagai bukti bahwa saya masih menulis di blog saya sendiri.*ya iyalah..*

Beberapa waktu yang lalu, salah seorang teman saya sedang ditelepon oleh teman saya yang lainnya. sebut saja mereka Mawar dan Marwan (iklan banget ini nama). kembali ke telepon. si Marwan yang lagi nelepon Mawar menanyakan kabar saya, kegiatan saya, dan yang lain-lainnya termasuk tentang keaktifan saya di blog ini. Saya sangat-sangat menyadari mengapa si Marwan tidak menanyakan langsung kepada saya, saya maklumi bangetttt...

Saya sangat berterima kasih atas kepedulian Marwan terhadap saya lewat segala pertanyaannya kepada Mawar, sehingga saya sulit membedakan antara care dan obsessed. Makasih Marwan.. sepertinya saya mulai berkobar menulis ini... air.. mana air... 

Satu statement Marwan yang membuat sebelah alis saya sedikit naik tanpa perintah, "ohh.. jarang nulis yaa,, paling gak ada yang baca kali yaa, pengunjungnya sedikit, makanya jarang nulis lagi." waww... saya jadi terkejut mendengarnya..

Semoga Marwan membaca postingan ini. Jadi begini, Marwan, saya menulis di blog ini bukan semata-mata untuk mendapatkan pengunjung yang banyak ataupun pembaca yang banyak. Saya menulis karena saya ingin menyampaikan sesuatu yang bisa jadi tidak tersampaikan lewat lisan, sehingga tulisan menjadi perantara.Alasan lainnya mengapa saya mulai jarang menulis di blog ini, mohon maaf Marwan, saya kembali mulai jarang online via notebook tercinta saya ini, sehingga untuk memposting di sini pun mulai jarang.

Oh iya, Marwan, jangan pernah menghawatirkan saya tentang menulis. Tanpa diminta pun saya nulis. Doakan saja semoga selalu produktif. Baiklah Marwan, sekian dulu, perlahan saya mulai menyadari, postingan ini terasa sangat tidak penting.