Teras luar rumah di lantai atas
terasa begitu terang malam ini tanpa cahaya lampu. Bulan malam ini membasahinya
dengan sinar indah yang membuatku berani berdiri tanpa gelap. Melihat bulan ini
sendiri dengan sejuta rasa syukur. Inilah keagungan Tuhan yang mampu
menghadirkan bulan yang sama di mata kita. Iya, kita mampu memandang bulan yang
sama dengan mata telanjang tanpa perantara, walau kita berada ditempat yang
berbeda.
Entah mengapa dalam diam ini
kembali aku merasa tidak layak diri. Kamu adalah sosok yang luar biasa bagiku. Aku
merasa tak layak memiliki dengan kapasitasku yang seperti ini. Setiap gerikmu
selalu berdasarkan ilmu. Itu yang dulu selalu kau sampaikan, dalam setiap hal
yang kita lakukan harus berdasarkan ilmu, jika kita tidak mengetahui dasar apa
yang kita lakukan, maka kita termasuk orang-orang yang bodoh.
Aku memperhatikan setiap gerikku
saat ini, mengingat-ingat kembali hal-hal yang aku lakukan. Apakah aku telah
mengetahui setiap dasarnya atau tidak. Sungguh aku merasa menjadi orang yang
bodoh kini. Benar-benar kerdil di bumi Tuhan yang luas ini. Sungguh aku tidak
pantas.
Tiba-tiba aku teringat
kebersamaan dulu yang selalu mampu memperbaiki diriku dalam segala hal. Kamu berdampak
besar. Sebagai manusia aku merasa lebih berguna, sebagai anak aku merasa lebih
berbakti dan menyayangi, sebagai murid aku lebih rajin, sebagai mahasiswa aku
lebih kritis, sebagai wanita aku lebih mandiri.
Kini aku melakukannya sendiri
tanpa motivasi. Tak ada kamu sebagai pengendali emosi. Aku mengendalikan diriku
sendiri. Aku tahu, kepergianmu adalah sebuah kesengajaan untuk memberikanku
sebuah pelajaran, bahwa aku mampu menjadi wanita yang luar biasa.
Hey, aku ingin memberitahumu, aku
telah mencapai apa yang ingin aku raih dulu.
Tidakkah kau bangga padaku? aku mampu seperti katamu. Ini juga karenamu.
Lihat aku saat ini, don’t you want to say something to me?
Sungguh, aku disergap rindu...